Revolusi industri 4.0 sudah berada di depan mata, tidak terkecuali Indonesia. Sejak presiden kita, Joko Widodo, meresmikan roadmap yang disebut ‘Making Indonesia 4.0’, topik ini telah menjadi bahan perbincangan di berbagai kalangan masyarakat.
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan revolusi industri 4.0?
Konsep
revolusi industri 4.0 ini merupakan konsep yang pertama kali
diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Beliau merupakan ekonom
terkenal asal Jerman sekaligus penggagas World Economic Forum (WEF) yang melalui bukunya, The Fourth Industrial Revolution,
menyatakan bahwa revolusi industri 4.0 secara fundamental dapat
mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berhubungan satu dengan yang
lain.
Dalam presentasinya, salah satu dosen Institut Teknologi Bandung
(ITB), Richard Mengko, yang mengutip dari A.T. Kearney, mengungkap
sejarah revolusi industri sampai akhirnya menyentuh generasi ke-4 ini.
Berikut ini empat tahap evolusi industri dari dahulu hingga kini.
- Revolusi industri yang pertama terjadi pada akhir abad ke-18. Hal ini ditandai dengan ditemukannya alat tenun mekanis pertama pada tahun 1784. Kala itu, industri diperkenalkan dengan fasilitas produksi mekanis yang menggunakan tenaga air dan uap. Peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga manusia dan hewan akhirnya digantikan dengan mesin tersebut. Akibatnya, meski jumlah produksi meningkat, banyak orang yang menganggur.
- Revolusi industri 2.0 terjadi di awal abad ke-20.Kala itu ada pengenalan produksi massal berdasarkan pembagian kerja. Produksi massal ini dimungkinkan dengan adanya listrik dan jalur perakitan. Lini produksi pertama melibatkan rumah potong hewan di Cincinnati, Amerika Serikat, pada 1870.
- Awal tahun 1970 ditengarai sebagai perdana kemunculan revolusi industri 3.0 yang dimulai dengan penggunaan elektronik dan teknologi informasi guna otomatisasi produksi. Debut revolusi industri generasi ketiga ditandai dengan kemunculan pengontrol logika terprogram pertama (PLC), yakni modem 084–969. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan manusia. Biaya produksi dapat ditekan oleh karena penerapan hal ini.
- Nah, awal 2018 hingga sekaranglah zaman revolusi industri 4.0. Industri 4.0 adalah industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber. Ini merupakan tren otomatisasi dan pertukaran data dalam teknologi manufaktur. Pada era ini, industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada di mana-mana. Istilah ini dikenal dengan nama Internet of Things (IoT).
Setelah
membahas mengenai apa itu revolusi industri 4.0 beserta sejarahnya,
berikut ini akan saya bahas mengenai hasil analisis SWOT yang saya
lakukan terhadap revolusi industri 4.0 di Indonesia.
Strengths
Pemerintah Indonesia sudah mulai berbenah menanggapi adanya perubahan industri dengan meluncurkan roadmap
‘Making Indonesia 4.0’ sebagai strategi untuk memuluskan langkah
Indonesia menjadi salah satu kekuatan baru di Asia pada April 2018 lalu.
Roadmap ini memberikan arah
yang jelas bagi pergerakan industri nasional di masa depan, termasuk
fokus pada pengembangan sektor prioritas yang akan menjadi kekuatan
Indonesia menuju Industri 4.0.
Pemerintah
memilih sektor makanan dan minuman, tekstil, otomotif, kimia, serta
elektronik sebagai fokus dalam program revolusi Industri 4.0. Pemilihan
kelima sektor tersebut bukan tanpa alasan, selain pelaksanaannya yang
lebih mudah karena sudah lebih siap, sektor tersebut juga dapat
memberikan dampak yang besar bagi pertumbuhan industri dan ekonomi
Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Perindustrian Airlangga
Hartanto dalam acara Obsat ke-202 bertajuk “Menuju Indonesia 4.0” di
Paradigma Cafe, Jakarta (Jumat, 11/5/2018). Di samping itu, Airlangga
menegaskan bahwa kelima sektor tersebut juga memiliki kontribusi yang
besar terhadap ekspor, tenaga kerja, dan Produk Domestik Bruto (PDB).
Weaknesses
Kendati
memiliki sumber daya manusia (SDM) yang banyak dan sumber daya alam
yang melimpah, Indonesia memiliki kualitas sumber daya manusia yang
rendah. Karena kualitas rendah, maka produktivitas tenaga kerja
Indonesia juga rendah.
Produktivitas
tenaga kerja Indonesia berada pada urutan keempat di tingkat ASEAN dan
urutan ke-11 dari 20 anggota negara anggota ASEAN Productivity Organisation
(APO). Sedangkan, untuk daya saing, saat ini Indonesia berada pada
urutan ke-36 dari 137 negara di tingkat ASEAN dan urutan ke-9 dari
negara-negara yang tercatat dalam The Global Competitiveness Report 2017–2018.
Opportunities
Dengan
implementasi industri 4.0, target besar nasional dapat tercapai. Target
itu antara lain membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi dunia pada
tahun 2030, mengembalikan angka ekspor netto industri sebesar 10 persen,
dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja industri hingga dua kali
lipat dibandingkan peningkatan biaya tenaga kerja industri dengan
mengadopsi teknologi dan inovasi yang mampu menciptakan kurang lebih 10
juta lapangan kerja baru di tahun 2030.
Threats
Revolusi
industri 4.0 tidak datang tanpa membawa masalah baru. Salah satu
masalah yang mungkin ditimbulkan oleh revolusi ini yakni terciptanya
pengangguran yang dipengaruhi oleh melebarnya ketimpangan ekonomi.
Mengapa
hal tersebut bisa terjadi? Begini, digitalisasi dapat menggeser peran
konvensional di dalam pasar. Sopir transportasi konvensional seperti
sopir ojek pangkalan, angkot, dan taksi berpeluang masuk jurang
pengangguran akibat kemunculan transportasi daring yang dinilai jauh
lebih murah dan nyaman di mata masyarakat saat ini. Tidak hanya itu,
pedagang di kios-kios tradisional dapat merugi dan akhirnya bangkrut
akibat gelombang e-commerce melalui kemunculan berbagai toko daring yang menyediakan barang yang lebih bervariasi, murah, dan mudah diakses.
Tidak
hanya digitalisasi, ke depan, penggunaan robot dalam mendukung
otonomisasi di ranah industri manufaktur dan jasa akan semakin tidak
terelakkan. Hal ini didorong keinginan perusahaan untuk memangkas biaya
yang ditimbulkan sumber daya manusia. Tuntutan kenaikan upah yang tidak
diiringi dengan produktivitas menjadi salah satu permasalahan yang
sering dialami oleh perusahaan terkait dengan sumber daya manusia.
Perkembangan
teknologi yang pesat cepat atau lambat akan berpengaruh pada permintaan
tenaga kerja di masa depan. Ke depan, permintaan tenaga kerja bergeser.
Industri akan cenderung memilih tenaga kerja terampil menengah dan
tinggi (middle and highly-skilled labor) ketimbang tenaga kerja kurang terampil (less-skilled labor) karena perannya dalam mengerjakan pekerjaan repetisi dapat digantikan dengan otonomisasi robot.
Apa yang harus Indonesia lakukan?
Ada
2 hal yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam
mempersiapkan diri terhadap revolusi industri 4.0, yakni pentingnya
usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki serta
pentingnya diadakan perubahan terhadap Undang Undang Nomor 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan.
Salah
satu usaha yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan
kemampuan tenaga kerja Indonesia yaitu mengadakan spesialisasi melalui
kursus dan pelatihan vokasi yang menjadi suatu keharusan yang dimiliki
calon pekerja untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan di masa depan.
Lalu, sedikitnya ada 3 hal yang perlu diatur dalam revisi UU 13 Tahun 2003. Pertama,
hubungan industrial, yakni bagaimana hubungan antara pemberi kerja
dengan penerima kerja (pekerja) bukan lagi hubungan permanen dan statis,
tetapi bersifat pertemanan atau partnership.
Dalam hubungan seperti ini, pekerja bisa saja bekerja untuk sejumlah
perusahaan yang berbeda. Jadi, dalam hubungan kerja seperti ini, tempat
kerjanya tidak mesti monoton di suatu gedung serta waktunya fleksibel.
Kedua, employ cost
atau gaji pekerja. Perhitungan pembayarannya bisa saja per jam, per
hari, per minggu atau per bulan, tergantung dari kesepakatan atau
perjanjian dan sesuai tingkat keahlian. Dalam konteks hubungan kerja dan
sistem penggajian seperti ini tentu kalau terjadi pemutusan hubungan
kerja tidak dikenal yang namanya uang pesangon.
Ketiga,
peradilan hubungan industrial. Dalam undang-undang yang baru nanti
harus diatur perkara seperti apa yang masuk dalam ranah peradilan
hubungan industrial.
Apa yang akan terjadi jika kedua hal tersebut tidak dilakukan?
Industri
4.0 mungkin membawa petaka bagi Indonesia jika kunci kesuksesannya,
yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia, diabaikan. Meskipun
tingkat pengangguran pada 2016 tercatat lebih rendah sejak 1998, namun
otonomisasi masih menjadi ancaman serius bagi tenaga kerja kurang
terampil yang perannya akan mulai tergeser perlahan.
Kemudian,
jika hal kedua, yakni revisi terhadap Undang Undang Nomor 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan, juga diacuhkan, sehingga tidak dapat
mengakomodasi industri 4.0. Alhasil, implementasi industri 4.0 tidak
akan berjalan maksimal.